Aku Malu Punya Ibu Buta


True Story


Saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang ibu yang BUTA!!! Matanya tidak ada satu. Aku sangat malu, benar-benar sangat malu.

Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, tak ada satupun yang cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak aku hiraukan. aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana. 
Pada suatu saat ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang kerumah dan tidak tidur dirumah. Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuat kesempurnaan yang kumiliki menjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.
Tepat disaat istirahat, kulihat sosok wanita tua di pintu sekolah. Bajunya pun bersahaja rapi dan sopan. Itulah ibuku yang mempunyai mata satu. Dan yang selalu membuat aku malu dan yang lebih memalukan lagi ibu memanggilku. "mau apa ibu kesini? ibu datang hanya untuk memepermalukan aku ! " bentakan dariku membuat diri ibuku segera bergegas pergi. Dan itulah yang memang aku harapkan. Ibu pun bergegas keluar dari sekolahku. Karena kehadirannya itu aku benar-benar malu, sangat malu sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan. "Hai, itu ibumu ya???, ibumu matanya satu ya??" yang menjadikan ku bagai  disambar petir mendapat pertanyaan seperti itu.

                        ***

Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa di sebuah sekolah di luar negeri. Aku mendapatkan beasiswa yang ku incar dan ku kejar agar aku bisa segera meninggalkan rumah kumuh ku dan terutama meninggalkan ibuku yang membuat aku malu. Ternyata aku berhasil mendapatkannya. Dengan bangga aku membusungkan dada dan aku berangkat pergi tanpa memberi tahu ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan ibuku. Seorang yang selalu menghalangi kemajuanku.
Di sekolah itu, aku menjadi mahasiswa paling populer karena kepintaran dan ketampananku. Aku telah sukses dan kemudian aku menikah dengan seorang gadis Indonesia dan menetap di Singapura. 
Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggal ku sangat mewah, aku mempunyai anak laki-laki yang berusia tiga tahun dan aku sangat menyayangi dia. Bahkan aku rela untuk mempertaruhkan nyawaku demi putraku itu.
10 tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan sama sekali aku tidak pernah memikirkan nasib ibuku. Sedikitpun aku tidak rindu kepadanya, aku tak mencemaskan dia. Aku bahagia dengan kehidupan aku yang sekarang.
Tapi pada suatu hari kehidupan ku yang sempurna tersebut terusik, saat putra ku sedang asyik bermain didepan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta yang sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah ibuku, ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia memperoleh ongkosnya. Dia datang menemui ku.
Seketika saja ibuku aku usir, dengan enteng aku mengatakan " hei, pergilah kau pengemis. Kau membuat anak ku takut !!! " dan tanpa membalas perkataan kasar ku, ibu lalu tersenyum, " Maaf, saya salah alamat." . Tanpa merasa bersalah, aku masuk kedalam rumah. 
         ***
Beberapa bulan kemudian, datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku. akupun datang untuk menghadiri dan aku beralasan pada istriku bahwa aku akan dinas keluar negeri. 
Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lama hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini. 
Selesai reuni entah mengapa aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum aku pulang ke Singapura. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya didepan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah padaku. Bahkan aku sendiri sebenarnya jijik melihatnya. Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu/ Kulihat rumah ini begitu berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua didalam rumah itu, entah lah dia kemana tapi justru aku merasa lega tak bertemu dengannya. 
Bergegas aku keluar dan bertemu dengan salah satu tetangga rumahku. "Akhirnya kau datang juga. Ibumu telah meninggal dunia seminggu yang lalu". 
"Oh..."
Hanya perkataan itu yang bisa keluar dari mulutku. Sedikitpun tak ada rasa sedih dihati ku yang kurasakan saat mendengar ibuku telah meninggal. " Ini, sebelum meninggal, ibumu memberikan surat ini untukmu ".
Setelah menyerahkan surat itu, ia segera bergegas pergi. Aku buka lembar surat yang sudah kusam itu. 

   Untuk anakku yang sangat aku cintai

Anakku yang aku cintai aku tahu kau sangat membenci ku. Tapi ibu senang sekali waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni di sekolahmu. 

Aku berharap agar aku bisa melihatmu sekali lagi, karena aku yakin kau akan datang ke acara reuni tersebut.

Sejujurnya ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga aku hanya bisa menangis sambil memandangi foto mu satu-satunya yang ibu punya. Ibu tak pernah lupa untuk mendoakan kebahagianmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia luas. 

Asal kau tahu saja anak ku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk dunia luas itu salah satunya adalah mataku yang selalu membuatmu malu. 

Mataku yang kuberikan padamu waktu kecil. Waktu itu kau dan ayahmu mengalami kecelakaan yang hebat. Tetapi ayahmu meninggal, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayang ku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat. Maka aku berikan satu mataku ini untukmu. 

Sekarang aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan apa yang kau cita-citakan. Dan aku pun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mataku yang aku berikan untukmu. 

Saat aku menulis surat ini, aku masih berharap masih bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin, karena aku yakin maut sudah didepan mataku. 

Bak petir di siang bolong, yang menghantam seluruh saraf-saraf ku. Aku terdiam !!!. Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibuku, tetapi diriku sendiri....


Tidak ada komentar: