Kisah 20 Nama

Disaat menuju jam-jam istirahat kelas seorang dosen berkata kepada para mahasiswanya. “Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar.”

Kemudian salah satu mahasiswi berjalan menuju pelataran papan tulis.

Dosen: “Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda, pada papan tulis.”
Dalam sekejap sudah dituliskan semuanya oleh mahasiswi tersebut. Ada nama tetangganya, teman kantornya, orang terkasih, dan lain-lain.

Dosen: “Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda paling tidak penting!”
Mahasiswi itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya

Dosen: “Silahkan coret satu lagi.”
Mahasiswi itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya. Sampai pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama, yaitu :
-nama orang tuanya.
-nama suaminya.
-dan nama anaknya.

Ruang kelas menjadi sunyi, semua mata tertuju ke arah dosen, pikir mereka permainan telah usai.

Tiba-tiba keheningan ruang kelas itu terpecah saat dosen berkata: “Silahkan coret satu lagi!”
Dengan perlahan-lahan mahasiswi itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret,,,, nama ORANG TUAnya,

Dosen: “Silahkan coret satu lagi!”
Hatinya menjadi bingung. Tapi beberapa saat kemudian ia mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. Lambat laun menetapkan dan mencoret,,, nama ANAKnya.
Dan,,, terdengar isak tangis mahasiswi tersebut. Kelaspun riuh rendah dengan berbagai macam suara dan komentar  dari para mahasiswanya.

Setelah suasana tenang kembali, dosen itu bertanya: “orang terkasihmu bukannya,,, orang tuamu da anakmu?
Orang tua yang membesarkan anda,,,. Anak adalah anda yang melahirkan,,,. Sedang suami itu, BISA DICARI LAGI...! tapi mengapa anda lebih memilih suami sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan..??

Semua pandangan mengarah pada mahasiswi tersebut, menunggu apa yang akan dijawabnya.

Setelah agak tenang, kemudian perlahan-lahan mahasiswi itu berkata: “pada waktunya semua akan berlalu juga,,,
Orang  tua akan pergi dan meninggalkan saya,,,
Sedang anak jika sudah besar ia akan menikah dan meninggalkan saya juga,,,
Yang benar-benar menemani saya dalam hidup ini hanyalah,, suami saya.

Dan semua pun terperangah dengan jawaban mahasiswi tersebut.

Memang, dalam Islam setelah muslimah berkeluarga, maka Suami yang paling utama dibandingkan ayahnya bahkan ibunya sekalipun...!!!

Kisah Cinta Tulus Sang Kakek

Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30 seorang pria berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu jarinya. Aku menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masih sibuk, mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.

Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah. Sebentar-bentar melirik ke jam tangannya. Aku merasa kasihan. Jadi ketika sedang waktu luang aku sempatkan untuk memeriksa lukanya, dan nampaknya cukup baik dan kering, tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, aku putuskan untuk melakukannya sendiri.

Sambil menangani lukanya, aku bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu menjawab tidak, dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya, seperti yang dilakukannya sehari-hari.

Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat disana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer.

Lalu kutanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir.

Aku sangat terkejut dan berkata, Dan bapak masih pergi kesana setiap hari walaupun istri bapak tidak kenal lagi? Dia tersenyum ketika tangannya menepuk tanganku sambil berkata, Dia memang tidak mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia, kan?

Aku terus menahan air mata sampai kakek itu pergi, tanganku masih tetap merinding, cinta kasih seperti itulah yang aku mau dalam hidupku.

Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.

Pengalaman ini menyampaikan satu pesan penting. Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, mereka hanya berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki. Hidup bukanlah perjuangan menghadapi badai, tapi bagaimana tetap menari ditengah hujan.